Senin, 04 Juli 2011

Hakikat dan teori pembelajaran


HAKIKAT DAN TEORI PEMBELAJARAN

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Psikologi Pembelajaran”




Oleh :
1.      Musriah                      NIM : D34208008
2.      Ahmad Wahyudi       NIM : D04208036
3.      Nur Widyasari           NIM : D04208059
4.      Ana Widyaningsih    NIM : D34209001
5.      Fitri Dwi Purwati      NIM : D74209066


FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
IAIN SUNAN AMPEL
SURABAYA
2010
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga  makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada rasul-Nya Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan pengikut beliau hingga akhir zaman.

Makalah yang berjudul “Hakikat dan Teori Pembelajaran” ini akan mendeskripsikan tentang  hakikat sebenarnya pembelajaran dan berbagai macam teori belajar serta metode pembelajaran.
Setelah membaca makalah ini,  pembaca diharapkan mampu memahami tentang hakikat dan teori pembelajaran sehingga dapat mengaplikasikannya dalam bidang yang membutuhkan dengan baik dan benar.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sangat dalam kepada :
  1. Bpk. Drs. H. Mahfudh Shalahuddin, M.Pd Selaku dosen pengampu mata kuliah “PSIKOLOGI PEMBELAJARAN”.
  2. Bapak, Ibu, dan saudara yang telah memberikan dukungan dan motivasi serta bantuan baik moril maupun materil demi terselesainya makalah ini.
  3. Sahabat-sahabati  dan berbagai pihak yang telah menyumbangkan waktu, tenaga, pikiran dan lain-lain yang tidak bisa disebut satu persatu.

Penulis menyadari makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu penulis berharap kepada para pembaca atas saran dan kritik demi terwujudnya makalah yang lebih baik.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

Surabaya, 09 Maret 2010
 


Tim Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………..i
KATA PENGANTAR…………………………………………………...ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………iii
BAB I PENDAHULUAN………………………………….……………..1
A.    Latar Belakang Masalah………………………….…………...1
B.     Rumusan Masalah ………………………………….………....3
C.     Tujuan ……………………………………………….………..3
BAB II PEMBAHASAN………………………………………….……... 4
A.    Hakikat Pembelajaran…………………………………….…...4
B.     Teori-teori Pengajaran dan Pembelajaran…………………..…7
C.     Model Pembelajaran…………………………………….……15
C. 1. Quantum Teaching dan Learning…………………..…...15
C. 2. Contekstual Teaching dan Learning ( CTL )……….…..16
BAB III PENUTUP…………………………………………………..…..18
A.    Kesimpulan…………………………………………………...18
B.     Saran …………………………………………………………18
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Seringkali kita mendengar ungkapan di masyarakat mengajar apa bu guru atau bu guru mengajar di mana ? dan jawaban bu guru tersebut adalah ibu mengajar Bahasa Indonesia di SMP Barakatak Dayeuhkolot’. Dari ungkapan tersebut di atas, tampak bahwa konotasi kata guru adalah bertugas mengajar dan siswa yang diajar, hal ini berarti guru sebagai subjek (pemain) yang beraktivitas dominan sedangkan siswa hanyalah objek (penonton) yang beraktivitas rendah . Komunikasi guru-siswa di kelas selama ini kebanyakan hanya satu arah, dari guru ke siswa, guru dominan dan siswa resisten, guru pemain dan siswa penonton, guru mengajar dan bukan membelajarkan siswa, bukan pembelajaran melainkan pengajaran (instruksional). Dalam pelaksanaan pembelajaran sekarang ini guru masih mendominsai kelas, siswa pasif (datang, duduk, dengar, lihat, berlatih, dan ... lupa). Guru memberitahukan konsep, siswa menerima bahan jadi. Demikian pula dalam progam latihan, dari waktu ke waktu soal yang diberikan adalah soal yang itu-itu juga tidak bervariasi. Soal hanya berkisar pada aspek mengingat dan memahami konsep yang sudah jadi dengan pertanyaan apa, berapa, tentukan, selesaikan, atau jawablah. Jarang sekali bertanya yang sifatnya pengembangan kreativitas, soal jarang sekali menggunakan kata mengapa, bagaimana, darimana, selidiki, temukan, atau generalisasikan.
Jadi sekolah tak ubahnya seperti tempat pelatihan. Di samping itu, untuk mengikuti pelajaran di sekolah, kebanyakan siswa tidak siap terlebih dulu dengan membaca bahan yang akan dipelajari, siswa datang tanpa bekal pengetahuan siap. Lebih parah lagi, mereka tidak menyadari tujuan belajar yang sebenarnya, tidak mengetahui manfaat belajar bagi masa depannya. Mereka hanya memandang bahwa belajar adalah suatu kewajibanm yang dipikul atas perintah orang tua, guru, dan lingkungannya. Belum memandang belajar sebagai suatu kebutuhan. Pelaksanan kegiatan di kelas guru masih melaksanakan proses pengajaran secara klasikal. Istilah klasikal bisa diartikan sebagai secara klasik yang menyatakan bahwa kondisi yang sudah lama terjadi, bisa juga diartikan sebagai bersifat kelas. Jadi pembelajaran klasikal berarti pembelajaran konvensional yang biasa dilakukan di kelas selama ini, yaitu pembelajaran yang memandang siswa berkemampuan tidak berbeda sehingga mereka mendapat pelajaran secara bersama, dengan cara yang sama dalam satu kelas sekaligus. Ibarat murid memakai pakain seragam dengan ukuran yang sama. Model yang digunakan adalah pembelajaran langsung (direct learning). Pembelajaran klasikal tidak berarti jelek, tergantung proses kegiatan yang dilaksanakan, yaitu apakah semua siswa berartisipasi secara aktif terlibat dalam pembelajaran, atau pasif tidak terlibat, atau hanya mendengar, menonton, dan mencatat. Pembelajaran klasikal bisa pula dengan menggunakan metode tanya jawab dengan teknik probing-prompting agar partisipasi dan aktivitas siswa tinggi. Pada umumnya siswa akan belajar (berpikirbekerja) secara individu, sehingga mereka dapat melatih diri dalam memupuk rasa percaya diri.
Dengan teknik ini, siswa akan berpartisipasi aktif tetapi ada unsur ketegangan dan cepat melelahkan. Pada model klasikal, siswa belum mendapat kesempatan untuk mengembangkan mengembangkan potensi kognitif, afektif, dan konatifnya secara optimal. Siswa masih jarang berkesempatan untuk berdiskusi, presentasi, berkreasi, bernalar, berkomunikasi, memecahkan masalah, dan berkolaborasi. Hal ini disebabkan pola yang dipakai masih mengajar bukan membelajarkan siswa. Pola mengajar yang diterapkan oleh guru bisa cocok bagi siswa yang terbiasa pasif, untuk membentuk generasi penerus yang penurut dan menjadi tukang, yaitu orang-orang yang tinggal menunggu tugas dari dunungan (atasan), misalnya tukang sapu dan tukang kuli. Di lain pihak, banyak siswa yang masih belum berani dan terbiasa beraktivitas, kebanyakan masih takut salah untuk bertanya, menjawab, berkomentar, mencoba, atau mengemukakan ide. Mereka masih sangsi apakah keberanian akan melanggar etika hormat kepada guru, karena di lingkungan keluargapun banyak bicara itu bisa dimarahi. Mereka masih takut akan kesalahan karena biasanya akan mendapat teguran atau bentakan, ada rasa tidak aman dalam belajar. Pada pihak guru pun, masih banyak guru yang merasa kurang nyaman jika siswa banyak bicara, merasa kuang senang bila siswa banyak bertanya dan berkomentar, memandang kurang sopan jika siswa banyak bertingkah, dan semacamnya. Apalagi jika siswa berbuat salah (bertanya, menjawab, mengerjakan) biasanya lansung divonis tidak menyenangkan. Masih banyak guru yang belum menyadari bahwa kesalahan adalah bagian yang tak terpisahkan dari belajar, kesalahan sebagai indikasi bahwa siswa berpartisipasi, antusias, perhatian, motivasi, berpikir, mencoba, menggali (eksplorasi), tetapi karena kemampuan dan pemahaman siswa masih kurang dan terbatas maka muncullah kesalahan itu. Guru belum menghargai kesalahan siswa tersebut karena belum bisa membelajarkan siswa dengan suasana nyaman dan menyenangkan.[1]

B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, tampak bahwa paradigma dan kebiasaan melaksanakan proses belajar mengajar di kelas masih banyak yang belum sesuai dengan konsep pembelajaran seperti yang diamanatkan kurikulum. Masih banyak guru yang masih melakukan aktivitas mengajar dan memandang siswa sebagai penonton yang terkagum-kagum dengan kepiawaian guru dalam menguasai materi dan penyajiannya, siswa dibuat terpesona dengan penampilan guru dan petuahnya yang bertuah. Siswa beraktivitas rendah hanya menunggu pemberian dari sang guru, sehingga terbentuklah manusia penurut menunggu pemberian.
            Dari sini penulis mengangkat suatu rumusan masalah yaitu :
  1. Apa dan bagaimanakah sebenarnya hakikat pembelajaran ?
  2. Apa saja teori-teori belajar yang dapat melandasi proses pembelajaran ?
  3. Bagaimanakah solusi dan strategi dalam mengatasi masalah pembelajaran ?

C. Tujuan
Dalam penulisan makalah ini penulis memiliki beberapa tujuan yaitu sebagai berikut :
  1. Untuk mengetahui lebih dalam tentang hakikat pembelajaran.
  2. Untuk mengetahui teori-teor belajar yang dapat melandasi proses pembelajaran.
  3. Untuk mengetahui berbagai macam solusi dan strategi dalam mengatasi masalah pembelajaran sehingga mampu mengubah paradigma yang tidak baik dalam proses pembelajaran.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat Pembelajaran
Pembelajaran pada hakekatnya adalah kegiatan guru dalam membelajarkan siswa, ini berarti bahwa proses pembelajaran adalah membuat atau menjadikan siswa dalam kondisi belajar. Siswa dalam kondisi belajar dapat diamati dan dicermati melalui indikator aktivitas yang dilakukan, yaitu perhatian fokus, antusias, bertanya, menjawab, berkomentar, presentasi, diskusi, mencoba, menduga, atau menemukan. Sebaliknya siswa dalam kondisi tidak belajar adalah kontradiksi dari aktivitas tersebut, mereka hanya berdiam diri, beraktivitas tak relevan, pasif, atau menghindar. Dengan konsep seperti di atas, pembelajaran harus berprinsip minds-on, hands-on, dan constructivism. Hal ini berarti dalam pelaksanaan pembelajaran pikiran siswa focus pada materi belajar dan tidak memikirkan hal di luar itu, pengembangan pikiran tentang materi bahan ajar dilakukan dengan melakukan dan mengkomunikasikannya agar menjadi bermakna [2]. Belajar yang sesungguhnya tidak menerima beegitu saja konsep yang sudah jadi, akan tetapi siswa harus memahami bagaimana dan dari mana konsep tersebut terbentuk melalui kegiatan mencoba dan menemukan. Karena belajar berkonotasi pada aktivitas siswa, sedangkan aktivitas individu dapat dipengaruhi oleh kondisi emosional, maka sepantasnya suasana pembelajaran yang kondusif dalam keadaan nyaman dan menyenangkan [3], inilah tugas seorang guru sebagai pendidik. Dengan suasana yang kondusif maka muncullah motivasi dan kreativitas, kondisi inilah cikal bakal aktivitas belajar dengan indikator tersebut di atas. Hal ini sesuai dengan istilah pembelajaran dengan prinsip Pakem, yaitu pembelajaran aktif, kreatif, dan menyenangkan.
Sebagai alternatif solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, dalam menyusun RPP, penulis menawarkan untuk digunakan suatu model atau pendekatan pembelajaran sehingga siswa belajar lebih bermakna dengan melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan alamiah, tidak hanya sekedar mengetahui, mengingat, dan memahami. Pembelajaran tidak hanya berorientasi target penguasaan materi, yang akan gagal dalam membekali siswa untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. Dengan demikian proses pembelajaran lebih diutamakan daripada hasil belajar, sehingga guru dituntut untuk merencanakan strategi pembelajaran yang variatif dengan prinsip membelajarkan dan memberdayakan siswa, bukan mengajar siswa. Dengan prinsip pembelajaran seperti itu, pengetahuan bukan lagi seperangkat fakta, konsep, dan aturan yang siap diterima siswa, melainkan harus dikontruksi (dibangun) sendiri oleh siswa dengan fasilitasi dari guru. Siswa belajar dengan mengalami sendiri, mengkontruksi pengetahuan, kemudian memberi makna pada pengetahuan itu. Siswa harus tahu makna belajar dan menyadarinya, sehingga pengetahuan dan ketrampilan yang diperolehnya dapat dipergunakan untuk bekal kehidupannya. Di sinilah tugas guru untuk mengatur strategi pembelajaran dengan membantu menghubungkan pengetahuan lama dengan yang baru dan memanfaatkannya. Siswa menjadi subjek belajar sebagai pemain dan guru berperan sebagai pengatur kegiatan pembelajaran (sutradara) dan fasilitator.
Pembelajaran dengan cara seperti di atas, yaitu dengan cara guru melaksanakan pembelajaran yang dimulai atau dikaitkan dengan dunia nyata yaitu diawali dengan bercerita atau tanya-jawab lisan tentang kondisi aktual dalam kehidupan siswa (daily life), kemudian diarahkan denga informasi melalui modeling agar siswa termotivasi, questioning agar siswa berfikir, constructivism agar siswa membangun pengertian, inquiry agar siswa bisa menemukan konsep dengan bimbingan guru, learning community agar siswa bisa dan terbiasa berkolaborasi-berkomunikasi berbagi pengetahuan dan pengalaman serta berkolaborasi, reflection agar siswa bisa mereviu kembali pengalaman belajarnya untuk koreksi dan revisi, serta authentic assessment agar penilaian yang diberikan menjadi sangat objektif.
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan-model tersebut di atas, ini tidak sulit kalau sudah terbiasa, yang penting ada kemauan kuat untuk mengubah dan meningkatkan kualitas diri. Kurikulum berbasis kompetensi menuntut
pelaksanaan pembelajaran model tersebut, karena orientasinya pada proses sehingga siswa memiliki kompetensi kemampuan-ketrampilan-pangabisa, tidak sekedar mengetahui dan memahami. Jangan lupa bahwa kondisi emosional individu akan mempengaruhi pemikiran dan prilakunya, oleh karena itu model pembelajaran tersebut akan terlaksana dengan optimal jika guru mampu menciptakan suasana belajar yang kondusif, nyaman dan menyenangkan. Pada pelaksanaan di kelas nyata, bisa menggunakan model pembelajaran koperatif (cooperative learning) yaitu pembelajaran
dengan cara mengelompokkan siswa secara heterogen (dalam hal kemampuan, prestasi, gender, minat, dan sikap) agar dalam kerja kelompok dinamis. Dalam kelompok mereka bisa saling berbagi (sharing) rasa, ide, pengetahuan, pengalaman, tanggung jawab dan saling membantu, sehingga mereka bisa belajar berkolaborasi-berkomunikasibersosialisasi.
Dengan berkelompok mereka akan berlatih pengendalian diri melalui belajar tolerans dengan menghargai pendapat orang lain, berempati dengan merasakan perasaan orang lain, mengikis secara bertahap perasaan malu dan rendah diri tanpa alasan, dan inilah pelatihan kecerdasan emosional sehingga EQ siswa bisa meningkat. Dasar pembelajaran koperatif adalah fitrah manusia sebagai mahluk sosial dengan prinsip belajar adalah bahwa hasil pemikiran dan hasil kerja banyak orang relatif lebih baik daripada hasil sendiri. Karena belajar berkonotasi pada aktivitas siswa, sedangkan aktivitas individu dapat dipengaruhi oleh kondisi emosional, maka sepantasnya suasana pembelajaran yang kondusif dalam keadaan nyaman dan menyenangkan, inilah tugas seorang guru sebagai pendidik. Dengan suasana yang kondusif maka muncullah motivasi dan kreativitas, kondisi inilah cikal bakal aktivitas belajar dengan indikator tersebut di atas. Hal ini sesuai dengan istilah pembelajaran dengan prinsip Pakem, yaitu pembelajaran aktif, kreatif, dan menyenangkan. Permasalahannya adalah bagaimana menciptakan suasana belajar yang nyaman menyenangkan? Jawabannya adalah bahwa kita sebagai guru seyogianya harus bisa dan terbiasa berkomunikasi secara positif dan sekaligus menghindar dari prilaku komunikasi negatif. Cara berkomunikasi positif adalah dengan menjaga citra diri yang positif, berbicara fokus, bersikap mengajak dan bukan memerintah, ekspresi wajah ramah, nada suara rendah menyenangkan, tutur kata lembut menyejukkan, gerakan badan wajar tidak dibuat-buat. Seperti sabda nabi Muhammad saw. Yusyiru wa la tu’asyiru, wa basyiru wa la tunafiru, mudahkanlah dan jangan dibuat susah, senangkanlah dan jangan membuat kecewa. Dengan demikian akan tumbuh pribadi positif, yaitu ptimis,mau memperbaiki diri, mengendalikan situasi, punya kebebasan memilih alternatif, partisipatif, rendah hati, pemaaf, dan tanggung jawab. Hindari prilaku dan komunikasi negatif yaitu marah, bohong, ragu, cemas, takut, dan takabur. Di samping itu, guru seyogianya memandang pekerjaan ini sebagai pekerjaan profesi dalam rangka beribadah kepada Alloh Swt. yang telah menciptakan, memelihara kita dengan rizqi-Nya, dan akan memanggil kita untuk kembali menghadap-Nya dengan hisab. Dengan pola pikir (mind set) seperti itu, insya Alloh, kita sebagai guru akan melaksanakan tugas dengan rasa ikhlas. Siapapun kepala sekolah-atasannya dan berapapun honor-gajinya, akan selalu bersemangat dalam membelajarkan siswa, karena meyakini Alloh selalu memperhatikan seluruh makhluqnya (inna Robbaka labil mirshod) , Dia-lah sebagai atasannya dan yang memberi nafkah kehidupan. Dengan rasa ikhlas dalammelaksanakan pembelajaran mencullah kreativitas dalam variasi model penyajian dan media, wajah ramah terhias senyum, tutur kata menyejukkan hati siapapun, tidak ada rasa benci-cemas-marah, yang ada adalah sifat pemaaf santun-bijak-melindungi dan semuan kegiatannya lillah, untuk Alloh semata. Dalam kondisi lillah semuanya menjadi
positif, guru adalah orang tua siswa di sekolah sebagai pendidik dan bukan penyidik, guru adalah orang tua bijak dan pemaaf, guru adalah contoh teladan bagi murid dalam hal ilmu dan moral. Tidak ada lagi rasa benci-marah-dendampaling tahu, sehingga memandang siswa sebagai anak sendiri yang merupakan cobaan dan sekaligus harapan.
Dengan konsep guru seperti itu, proses pembelajaran yang hakiki (sebenar-benarnya) akan terwujud dalam kelas, karena dengan suasana nyaman dan menyenangkan potensi siswa akan tumbuh dan berkembang secara optimal.
Bukankah pembelajaran dapat diartikan pula sebagai proses menumbuhkan dan mengembangkan potensi siswa secara optimal melalui aktivitas terarah dan terencana, sehingga selama dan sesudah pembelajaran siswa memiliki berbagai kompetensi (kemampuan dan ketrampilan) sebagai bekal hidup untuk bisa mandiri. Potensi siwa sendiri, berupa fisik dan psikis adalah anugrah dari Alloh yang harus disyukuri dengan memanfaatkannya untuk hal positif, jika tidak adzab sangat pedih akan menimpa. Dengan demikian kegiatan belajar dan pembelajaran adalah wujud dari syukur nikmat dari guru dan siswa.

B. Teori-teori Pengajaran dan Pembelajaran
Pengenalan Dalam menyampaikan sesuatu pengatahuana atau kemahiran, seseorang guru perlu menggunakan berbagai teori yang dipelajari serta menggunakan strategi tertentu yang sesuai untuk memastikan pembelajaran dan pengajaran yang akan dilakukan akan berjaya dicapai. Pengajaran merupakan aktiviti atau proses yang berkaitan dengan penyebaran ilmu pengetahuan atau kemahiran yang tertentu. Ia meliputi perkara-perkara seperti aktiviti perancangan,pengelolaan, penyampaian, bimbingan dan penilaian dengan tujuan menyebarkan ilmu pengetahuan atau kemahiran kepada pelajar-pelajar dengan cara yang berkesan. Pembelajaran adalah perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku melalui pembelajaran yaitu perubahan yang lebih maju, lebih tinggi dan lebih baik daripada tingkah laku yang sedia ada sebelum aktiviti pembelajaran.
Jika menelaah literatur psikologi, kita akan menemukan banyak teori belajar yang bersumber dari aliran-aliran psikologi.Namun dalam kesempatan ini hanya akan dikemukakan lima jenis teori belajar saja, yaitu: (a) teori behaviorisme; (b) teori belajar kognitif menurut Piaget; (4) teori pemrosesan informasi dari Gagne, dan (5) teori belajar gestalt.
v  Teori Behaviorisme [4]
Behaviorisme merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu. Behaviorisme memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek  mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat  dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari  pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :
1.     Connectionism ( S-R Bond)  menurut Thorndike. Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum  belajar, diantaranya:
a.     Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons  menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus - Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula  hubungan  yang terjadi antara Stimulus- Respons.
b.      Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
c.      Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan  semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
2.     Classical Conditioning  menurut Ivan Pavlov Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum  belajar, diantaranya :
a.     Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
b.      Law of Respondent Extinction  yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
3.     Operant  Conditioning  menurut B.F. Skinner Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum  belajar, diantaranya :
a.     Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
b.      Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning  itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah. Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons  dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah  stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons  tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
4.     Social Learning  menurut Albert Bandura  
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya,  Bandura  memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus, melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana  yang perlu dilakukan.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.

v  Teori Belajar Kognitif menurut Piaget[5]
Dalam bab sebelumnya telah dikemukan tentang aspek aspek perkembangan kognitif menurut Piaget yaitu tahap (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan                   (4) formal operational.  Menurut Piaget, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru.  Guru  hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan. 
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
a.     Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
b.      Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
c.      Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
d.     Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e.     Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
v  Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan  proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman;  (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali;  (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.[6]
v  Teori Belajar Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai   “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler,  ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :
a.     Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna  dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka  akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
b.      Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
c.      Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
d.     Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi  sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
e.     Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
f.       Ketertutupan (closure)  bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.
Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu: 
a.     Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan dengan lingkungan luar.  Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.
b.      Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).
c.      Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak  seperti gunung atau binatang tertentu.
d.     Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses  yang dinamis  dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran  terhadap rangsangan yang diterima.
Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
a.     Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
b.      Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan  dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna  yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
c.      Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah  aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
d.     Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
e.     Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain.  Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek  dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi  apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain.  Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.[7]
C. Model pembelajaran
C. 1. Quantum Teaching dan Learning
Quantum Teaching dan Quantum Learning merupakan model pembelajaran yang sama-sama dikemas Boby DePorter yang diilhami dari konsep kepramukaan, sugestopedia, dan belajar melalui berbuat. Quantum Teaching diarahkan untuk proses pembelajaran guru saat berada di kelas, berhadapan dengan siswa, merencanakan pembelajaran, dan mengevaluasinya. Pola Quantum Teaching terangkum dalam konsep TANDUR, yakni Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, dan Rayakan. Sementara itu, Quantum Learning merupakan konsep untuk pembelajar agar dapat menyerap fakta, konsep, prosedur, dan prinsip sebuah ilmu dengan cara cepat, menyenangkan, dan berkesan. Jadi, Quantum Teaching diperuntukkan guru dan Quantum Learning diperuntukkan siswa atau masyarakat umum sebagai pembelajar. Sebagai guru, Ibu tentunya perlu mendalami keduanya agar bisa menyerap konsep secara utuh dan terintegrasi.
Dalam Quantum Teaching, guru sangat diharapkan sebagai aktor yang mampu memainkan berbagai gaya belajar anak, mengorkestrakan kelas, menghipnotis kelas dengan daya tarik, dan menguatkan konsep ke dalam diri anak. Prinsipnya, bawalah dunia guru ke dunia siswa dan ajaklah siswa ke dunia guru. Dalam Quantum Teaching, tidak ada siswa yang bodoh, yang ada adalah siswa yang belum berkembang karena titik sentuhnya belum cocok dengan titik sentuh yang diberikan guru. Berarti, guru perlu penyesuaian sesuai dengan kondisi siswa dengan berpedoman pada segalanya bertujuan, segalanya berbicara, mengalami sebelum pemberian nama, akui setiap usaha, dan rayakan.
Quantum Learning merupakan strategi belajar yang bisa digunakan oleh siapa saja selain sisiwa dan guru karena memberikan gambaran untuk mendalami apa saja dengan cara mantap dan berkesan. Caranya, seorang pembelajar harus mengetahui terlebih dahulu gaya belajar, gaya berpikir, dan situasi dirinya. Dengan begitu, pembelajar akan dengan cepat mendalami sesuatu. Banyak orang yang telah merasakan hasilnya setelah mengkaji sesuatu dengan cara Quantum Learning. Segalanya dapat dengan mudah, cepat, dan mantap dikaji dan didalami dengan suasana yang menyenangkan[8]
  1. 2. Contextual Teaching and Learning, (CTL)[9]
Merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Dengan begitu mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing.  Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi.
Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerjasama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru (baca: pengetahuan dan keterampilan) datang dari 'menemukan sendiri', bukan dari 'apa kata guru'. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.kontekstual hanya sebuah strategi pembelajaran. Seperti halnya strategi pembelajaran yang lain. Kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual dapat dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada.




























BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Teori belajar humanisme dan behaviorisme memiliki ciri khas masing-masing . Teori belajar humanisme berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang perilakunya bukan sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah mambantu siswa untuk mengembangkan dirinya yaitu membantu masing- masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik & membantu dalam mewujudkan potensi- potensi yang ada pada diri mereka. Sedangkan teori belajar behavioristik merupakan proses perubahan tingkah laku sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus dengan respons yang menyebabkan siswa mempunyai pengalaman baru.

Aplikasinya dalam pembelajaran adalah bahwa guru memiliki kemampuan dalam mengelola hubungan stimulus respons dalam situasi pembelajaran sehingga hasil belajar siswa dapat optimal. Teori konstruktivisme memiliki cirri khas  dengan penekanan pada konteks dimana keterampilan akan dipelajari dan diaplikasikan dan menempatkan belajar dalan konteks yang bermakna.  Sedangkan teori kognitivisme
didasarkan pada kognisi,yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana  tingkah  mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi.

B. SARAN
Pengertian, prinsip, dan perkembangan teori pembelajaran hendaknya dipahami oleh para pendidik dan diterapkan dalam dunia pendidikan dengan benar, sehingga tujuan pendidikan akan benar-benar dapat dicapai. Dengan memahami berbagai teori belajar, prinsip-prinsip pembelajaran dan pengajaran, pendidikan yang berkembang di bangsa kita niscaya akan menghasilkan out put-out put yang berkualitas yang mampu membentuk manusia Indonesia seutuhnya.      



DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu dan Supriono, Widodo. 1991. Psikologi Pengajaran Jakarta: Rineka Cipta. Baharuddin dan Wahyuni, Nur. 2008.
Teori Belajar dan Pembelajaran, Jogajakarta : Ar-Ruz Media Group. Hamalik, Oemar.
Psikologi Belajar dan Mengajar, 2007. Bandung:Sinar Baru Algesindo Offset Sudjana, Nana. 1989.
Teori-teori Belajar Untuk Pengajaran,  Jakarta: UI Press. Syah,Muhibbin. 2009.
Psikologi Belajar, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada

http://educare.e-fkipunla.net Generated: 6 March, 2010, 14:10
  
 



[1] http://educare.e-fkipunla.net Generated: 6 March, 2010, 14:10
[2] Peter Sheal, 1989
[3] De Porter, 1992
[4] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, 2009 . (PT: Raja Grafindo Pustaka:Jakarta). Hal. 92.

[5] Ahmadi, Abu dan Supriono, Widodo. 1991. Psikologi Pengajaran Jakarta: Rineka Cipta. Baharuddin dan Wahyuni, Nur. 2008. hal 86

[6] Gage, N.L., & Berliner, D. Educational Psychology Second Edition, (Chicago: Rand Mc. Nally), 1979.

[7] Teori-teori Belajar Untuk Pengajaran Jakarta: UI Press. Syah,Muhibbin. 2009. hal 105


[8] http://educare.e-fkipunla.net Generated: 6 March, 2010, 14:10
[9] http://educare.e-fkipunla.net Generated: 6 March, 2010, 14:10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar