Senin, 04 Juli 2011

Sifat-sifat buruk dalam Alqur'an

1.      Surat An-Nisa’ (04): 148
a.      Ayat  Al Qur’an
لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا (١٤٨)
b.      Terjemahan
“Allah tidak menyukai Ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (QS. An-Nisa’ : 148)

c.       Asbabun Nuzul
Ayat ke 148 diturunkan sehubungan dengan seorang lelaki yang bertamu kepada seseorang penduduk di Madinah. Dia mendapat perlakuan yang kurang baik dari tuan rumah, sehingga dia pindah bertamu kepada seseorang yang lain. Dia menceritakan perlakuan tuan rumah yang disinggahi pertama dan memuji tuan rumah yang kedua. Dengan kejadian yang seperti ini Allah SWT menurunkan ayat ini sebagai kejelasan bahwa Allah tidak menyukai orang yang suka menggunjing dan mencintai orang yang pemaaf terhadap kesalahan orang lain. Disamping itu diperbolehkan kita mencibir orang lain jika kita dianiaya. (HR. Hanad Ibnu Sirri dalam kitabuz-Zuhdi dari Mujahid)[1]

d.      Kata-kata sulit
a)      جَهْرَ = Ucapan keras atau buruk
b)      ظُلِمَ =dianiaya
e.       Penafsir
Menurut Prof Dr Hamka mengenai surat An-Nisa’ ayat 148 yaitu bahwa Allah menyukai kata-kata yang sopan yang tidak menyinggung perasaan, yang tidak merusak akhlak maka amatlah benci Allah menyiarkan atau menjelaskan perkataan yang buruk, yang kotor yang cabul dan yang carut marut. Maka perbanyaklah perkataan yang artinya kita maklumi tetapi tidak boleh diucapkan terus terang. Sebab disana terletak batas kesopanan manusia. Itu mengapa Allah memilih kata dalam Al -Qur’an yang patut menjadi contoh bagi orang yang beriman. Kata-kata yang buruk hanya boleh bagi orang yang teraniaya untuk melepaskan dirinya dari penganiayaan. Bahwa Allah mendengar apa yang kita ucapkan sopankah ataupun kotorkah. Karena banyaknya kata-kata yang kotor adalah alamat dari budi dan batin yang memulai kotor. Padahal umat beragama sudah semestinya mempunyai kesopanan yang tinggi.[2]
Sedangkan menurut Sayyid Quthb Allah tidak suka tersebarnya perkataan buruk di kalangan kaum muslim. Dalam hal ini, menerangkan kejelekan hal ini meliputi apa yang diistilahkan mencela dan menuduh adalah dilakukan untuk membela diri dari kezaliman, untuk menolak perseteruan, untuk menolak keburukan itu sendiri yang bisa saja terjadi pada diri orang yang di jelek-jelekkan atau dituduh, dan untuk mempopulerkan kezaliman dan orang yang zalim itu kepada masyarakat sehingga masyarakat bersimpati kepada orang yang di zalimi. Jadi pernyataan buruk itu hanya di tujukan secara terang-terangan kepada orang yang melakukan kezaliman saja. Dengan demikian Islam melindungi nama baik manusia selama manusia tidak berbuat zalim. Demikianlah Islam memadukan antara keinginannya terhadap penegakan keadilan yang tidak mungkin berjalan bila disertai kezaliman dan keinginannya terhadap akhlak yang tidak dapat berjalan bersama dengan penodaan terhadap harga diri pribadi dan masyarakat.[3]
Selanjutnya menurut  Halim Bahreisy yaitu Allah tidak menyukai orang yang berdoa untuk kecelakaan orang lain, melainkan jika ia merasa teraniaya haknya, maka bolehlah ia mendoakan orang yang menganiaya, akan tetapi lebih baik jika ia menahan diri daan bersabar, maka itu adalah lebih baik.[4]

f.       Opini Pemakalah
Membicarakan keburukan orang lain adalah tindakan yang tidak terpuji, selain itu Allah juga tidak menyukai perbuatan seperti itu. Bukankah kita diciptakan Allah untuk saling mengenal dan bersaudara. selanjutnya untuk apa setelah kita mengenal dan mereka adalah saudara kita, kita menggunjing mereka dan membuka aib mereka. Bukankah itu juga aib kita. namun bagi orang yang merasa teraniaya membicarakan keburukan orang yang menganiaya adalah tidak masalah. Ini dikarenakan semata-mata untuk melepaskan diri dari penganiayaan, namun lebih baik jika mereka bersabar karena sesungguhnya Allah menyukai orang yang bersabar.

2.      Surat  Muhammad (47):38
a.      Ayat Al Qur’an
هَا أَنْتُمْ هَؤُلاءِ تُدْعَوْنَ لِتُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَمِنْكُمْ مَنْ يَبْخَلُ وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ (٣٨)
b.      Terjemahan
“Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir Sesungguhnya Dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini”. (QS. Muhammad: 38)

c.       Kata-kata sulit
a.       يَسْتَبْدِلْ =  menguatkan sehingga kata tersebut berarti sungguh akan menggantikan.
b.      تُدْعَوْنَ = Yang diajak
c.       ِتُنْفِقُوا = Untuk menafkahkan
d.      Penafsir
Menurut Ahmad Mushthafa Al-Maraghi mengenai surat Muhammad ayat 38 yaitu Mengajak supaya kita menafkahkan harta dalam melawan musuh-musuh Allah dan menolong agama-Nya. Dan apabila kita kikir maka dapat mengurangi pahala dan menjauhkannya dari rida Allah, dan kedekatan pada sisi-Nya dalam surga yang penuh kenikmatan. Padahal Allah tidak memerlukan kepada hartamu maupun pembelanjaanmu. Karena dia maha kaya terhadap makhluk-Nya, sedang makhluk-Nya yang memerlukan kepada-Nya. Dan apabila kita murtad dari ketaatan-Nya niscaya Allah akan membinasakan kita dan mendatangkan yang lain selain kita yang membenarkan ketaatan kepada Allah dan melaksanakan syariat-syariat-Nya.[5]
Selanjutnya menurut Halim Bahreisy yaitu Jika Allah meminta harta kepadamu serta mendesakmu supaya memberi sedekah, kamu akan menjadi orang kikir yang sayang menafkahkan hartamu untuk bersedekah  bahkan akan kamu tampakkan kedengkianmu serta kebencianmu terhadap sesama kaummu yang fakir miskin. Inilah kamu dihimbau untuk menafkahkan hartamu di jalan Allah. Maka barang siapa kikir dan bakhil menafkahkan hartamu di jalan Allah, maka dampak kekikiranmu dan kebakhilannya akan kembali bermudharat kepada dirinya sendiri dan Allah maha kaya tidak membutuhkan hartamu sedang kamu sangat membutuhkan pertolongan Allah. Jika kamu berpaling dari Allah maka Allah akan mengganti kamu dengan kaum yang lebih taat daripadamu.[6]
Sedangkan menurut Quraish Shihab menyatakan bahwa ajaran agama yang ditugaskan kepada kamu untuk melaksanakan, menafkahkan harta dan memperjuangkannya adalah sesuatu yang sangat berharga dan penugasan itu adalah suatu kemuliaan. Jika kamu tidak menghargai kemuliaan dan tidak siap melaksanakan dan menanggung konsekuensinya maka  Allah maha kaya . Dia tidak membutuhkan kamu, dan Dia akan menganugerahkan kemuliaan itu pada kaum yang lain dan menugaskan mereka melaksanakan dan memikul konsekuensinya, dan ketika itu mereka itu tidak akan sama dengan kamu yang menyia-nyiakan.[7]

e.       Opini Pemakalah
Bahwa  kita harus menyisihkan sebagian uang. Untuk disedekahkan  di jalan Allah. Janganlah kita menelantarkan dan menganaktirikan mereka. Dan jika kita kikir untuk menafkahkan harta kita maka sebenarnya kita kikir terhadap diri kita sendiri. Itu mengapa karena Allah tidak memnbutuhkan apapun dari kamu. Allah maha kaya dan maha kuasa namun sesungguhnya kamu sendirilah yang membutuhkannya. Dan jika kita tidak menjalankan perintah perintahnya  seperti sedekah, zakat maka Allah akan mengganti dengan orang lain yang lebih taat kepadaNYa dari pada kita.

3.      Al Isra' (17) :26-27
a.      Ayat Al Qur’an
وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (٢٦)إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (٢٧)
b.      Terjemahan
“26. dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. 27. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. ”( Al-Isra’26-27)

c.       Asbabun Nuzul
Ayat ke -26 dan 27 ketika diturunkan Allah SWT, Rasullullah SAW langsung memberikan tanah Fadak, tanah hasil rampasan perang, kepada Fatimah. Menurut pendapat Ibnu Katsir, keterangan asbabun nuzul dalam hadist ini sangat musykil, sulit dipahami. Sebab seakan-akan dalam riwayat ini mengisahkan bahwa ayat ini turun di Madinah. Padahal kenyataannya turun di Makkah. Ini adalah keterangan yang lebih masyhur.[8]

d.      Kata-kata sulit
a)      تُبَذِّرْ                                    : Menafkahkan harta tidak pada tempatnya.
b)      إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ         : Kawan-kawan setan.

e.       Penafsir
Menurut Musthafa Al Maraghi surat Al-Isra’ ayat 26-27 menjelaskan  bahwa Allah mendorong manusia supaya gemar menafkahkan hartanya kepada orang miskin yang membutuhkan pertolongan dan kepada Ibnu Sabil agar ia mencapai tujuannya untuk agama. Dan janganlah kita menghambur-hamburkan harta yang telah diberikan oleh Allah kepada kita untuk bermaksiat kepadaNya secara boros dengan memberikannya kepada orang yang tidak patut menerimanya karena  sesungguhnya orang yang menghamburkan uang  dan hartanya untuk bermaksiat adalah kawan setan padahal setan itu sangat ingkar dengan nikmat Allah yang telah memberikan anugerah bahkan setan  kufur dengan tidak taat kepada Allah. Begitu pula dengan saudara setan  yang menghambur-hamburkan harta berarti mereka tidak bersyukur kepada Allah bahkan mereka melanggar perintah Allah dan tidak menganut sunnahNya. Mereka meninggalkan kesyukuran dan menerimanya dengan sikap kufur. Karena itu samalah dengan setan sifat atau perbuatannya.[9]
Sedangkan menurut Imam abul fidaismail yaitu Allah memerintahkan untuk memberinafkah  kepada orang miskin dan ibnu sabil selain itu Allah melarang bersikap berlebih-lebihan dalam memberi nafkah(membelanjakan harta) tetap yang dianjurkan ialah pertengahan dan Allah menanamkan rasa antipasti terhadap sikap boros. Tindakan mereka serupa dengan sepak terjang setan. Mereka saudara setan dalam melakukan pemborosan, melakukan tindakan bodoh dan tidak taat kepada Allah. Ini dikarenakan mereka ingkar kepada nikmat yang telah diberikan Allah kepada mereka dan tidak mau mengerjakan amal ketaatan kepadaNya. Bahkan membalasnya dengan perbuatan durhaka dan melanggar perintahNya.[10]
Selanjutnya menurut Quraish shihabn yaitu pemberian itu tidak hanya sebatas materi namun juga immateri. Mayoritas ulama menilai perintah disini sebagai anjuran bukan perintah wajib. Jika seseorang menafkahkan semua harta dalam kebaikan maka dia bukanlah seorang pemboros. Seorang pemboros bersaudara dengan setan. Ini dikarenakan persamaan sifatnya serta keserasian antar keduanya. Penyifatan para pemboros dengan setan yang kufur merupakan peringatan keras kepada pembroros bahwa persaudaraan dan kebersamaan mereka dengan setan dan meneladani temannya.[11]

f.       Opini Pemakalah
Bahwa kita harus menyisihkan sebagian uang kita untuk fakir miskin dan kepada ibnu sabil. Mereka adalah saudara kita jadi janganlah kita yang sudah mendapat nikmat Allah yang cukup malah hidup foya-foya tidak memikirkan masa depan dan tidak mensyukuri nikmat Allah. Sesungguhnya hidup foya-foya adalah sahabat setan padahal setan sangat ingkar dengan Allah. Maka kita harus hidup sederhana dan mentaati perintah Allah untuk menyedekahkan harta kita di jalan-Nya.

1 komentar: